Ekonom Amartya Sen: Merajut Kembali Etika dalam Ekonomi Pembangunan yang Berkelanjutan
Ekonom Amartya Sen: Merajut Kembali Etika dalam Ekonomi Pembangunan yang Berkelanjutan
Prolog: Dari Bengal ke Nobel
Pada suatu pagi di tahun 1943, seorang anak lelaki berusia sembilan tahun menyaksikan pemandangan yang mengubah hidupnya selamanya. Di tengah-tengah kelaparan Bengal yang merenggut nyawa tiga juta orang, seorang buruh miskin yang nyaris tak berdaya menerobos masuk ke halaman rumahnya. Peristiwa itu membakar dalam diri Amartya Kumar Sen sebuah pertanyaan mendasar yang kelak menjadi inti dari seluruh karyanya: Mengapa, dalam dunia yang berkelimpahan, manusia masih menderita kelaparan dan ketidakadilan?
Lima puluh lima tahun kemudian, pada 1998, dunia mengakui jawabannya. Sen meraih Hadiah Nobel dalam Ekonomi bukan karena rumus matematika yang rumit, melainkan karena telah mengembalikan "hati nurani" dan "etika" ke dalam ilmu ekonomi—sebuah disiplin yang semakin dingin dan terpisah dari realitas kemanusiaan.
Kritik Fondasional: Ketika Ekonomi Kehilangan Jiwanya
Sen melihat dengan kritis kecenderungan ekonomi modern yang terobsesi pada pertumbuhan agregat seperti PDB. Bagi Sen, pendekatan ini buta terhadap ketimpangan dan penderitaan di tingkat individu. Dalam bukunya yang monumental, On Ethics and Economics (1987), ia menegaskan bahwa memisahkan ekonomi dari etika adalah sebuah kesalahan fatal. Ekonomi, yang awalnya lahir sebagai cabang filsafat moral, telah terdegenerasi menjadi sekadar "ilmu teknik" yang mengabdi pada efisiensi semu.
Ia membongkar paradigma tradisional dengan dua argumen utama:
1. Kelaparan bukan soal kurangnya makanan, melainkan soal hilangnya "entitlement" (hak akses). Kelaparan Bengal yang ia saksikan terjadi bukan karena India kekurangan beras, tetapi karena sistem distribusi dan mekanisme daya beli masyarakat runtuh. Ini adalah kegagalan institusional, bukan kegagalan panen.
2. Kesejahteraan bukanlah soal seberapa banyak yang dimiliki (income), tetapi seberapa banyak yang dapat dilakukan dan menjadi (capability). Seorang penyandang disabilitas dengan mobil mewah mungkin lebih "miskin" dalam hal kebebasan bergerak dibandingkan seorang anak sehat dengan sepeda. Inilah benih dari Capability Approach-nya yang revolusioner.
Capability Approach: Fondasi Teoritis untuk Pembangunan Berkelanjutan
Konsep "Capability" atau kemampuan inilah yang menjadi jantung strategi pembangunan berkelanjutan ala Sen. Pembangunan, baginya, adalah proses memperluas kebebasan substantif yang dinikmati manusia. Kebebasan itu meliputi:
1. Kebebasan Politik (berekspresi, berpartisipasi)
2. Fasilitas Ekonomi (akses ke sumber daya, pekerjaan layak)
3. Kesempatan Sosial (pendidikan, kesehatan)
4. Jaminan Transparansi (good governance)
5. Keamanan Protektif (jaring pengaman sosial)
Dengan kerangka ini, keberlanjutan bukan hanya soal lingkungan, tetapi tentang keberlanjutan kualitas hidup manusia dari generasi ke generasi. Sebuah proyek pembangunan yang merusak lingkungan tetapi menciptakan lapangan kerja adalah sebuah kegagalan jika pada akhirnya ia merampas kebebasan generasi mendatang untuk hidup sehat (capability untuk hidup panjang). Dengan demikian, Capability Approach secara inherent mengarusutamakan dimensi sosial dan lingkungan dalam satu kerangka yang utuh.
Relevansi bagi Indonesia: Dari Teori ke Praktik Kebijakan
Pemikiran Sen bagaikan cermin yang jernih untuk menilai jalan pembangunan Indonesia.
1. Mengatasi Paradigma "Pertumbuhan vs. pemerataan": Indonesia sering terjebak dalam dikotomi ini. Sen menawarkan solusi: ukur keberhasilan dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang lebih mencerminkan perluasan capability (kesehatan, pengetahuan, standar hidup layak) daripada sekadar PDB. Fokus pada peningkatan kualitas manusia akan mendorong pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan.
2. Menyelesaikan Teka-Teki Ketimpangan Pendidikan: Seperti yang terlihat dalam analisis anggaran pendidikan, Indonesia fokus pada "akses" (bangun sekolah, BOS), tetapi abai pada "kualitas" dan "relevansi". Pendekatan Sen menuntut kita bertanya: Apakah pendidikan kita memperluas kebebasan anak untuk menjadi apa yang mereka inginkan? Jawabannya sering kali tidak. SMK yang menghasilkan pengangguran adalah bukti kegagalan memperluas capability lulusannya. Solusinya adalah link and match yang nyata dengan industri dan penekanan pada keterampilan kritis dan kreativitas.
3. Demokrasi sebagai Penggerak Pembangunan: Sen membuktikan bahwa tidak ada negara demokratis dengan kebebasan pers yang baik yang pernah mengalami kelaparan massal. Demokrasi memberikan "early warning system" melalui pemberitaan dan tekanan politik. Bagi Indonesia, ini berarti memperkuat demokrasi, kebebasan pers, dan partisipasi masyarakat sipil bukanlah halangan, melainkan prasyarat bagi pembangunan yang berkelanjutan dan tahan guncangan.
4. Mendorong Inovasi yang Manusiawi: Rendahnya anggaran riset dan birokrasi yang "ribet" di perguruan tinggi Indonesia mencerminkan sistem yang tidak memerdekakan para peneliti. Sen akan mendorong sistem yang memperluas "capability" para ilmuwan—dengan memberikan otonomi, pendanaan yang memadai, dan menghubungkan riset mereka dengan masalah nyata masyarakat, seperti ketahanan pangan dan energi terbarukan.
Penutup: Warisan Sang Humanis Ekonom
Amartya Sen meninggalkan warisan yang abadi: Pembangunan yang sejati adalah pembangunan yang memanusiakan. Dalam strategi ekonomi berkelanjutan, ini berarti:
"Tujuan akhir bukanlah menumpuk kekayaan nasional, tetapi memberdayakan setiap individu untuk hidup yang panjang, sehat, kreatif, dan bermartabat—tanpa mengorbankan hak generasi mendatang untuk melakukan hal yang sama."
Di tengah kompleksitas krisis iklim, ketimpangan digital, dan ancaman resesi global, suara Sen mengingatkan kita bahwa kompas moral tidak boleh hilang. Ekonomi harus kembali kepada akarnya: sebagai alat untuk melayani manusia dan kemanusiaan, bukan sebaliknya. Pada akhirnya, pembangunan berkelanjutan yang dicita-citakan dunia tidak akan terwujud oleh teknologi semata, tetapi oleh komitmen etis untuk memperluas kebebasan setiap manusia, di mana pun mereka berada. Itulah inti dari visi Amartya Sen, sang ekonom humanis. Jawa Barat, Sunda Kita, 23 September 2025
Komentar
Posting Komentar