Judul Artikel : "Menggapai Bintang Nobel: Membangkitkan Spirit Ilmuwan Muda "
Dayeuhkolot, 8 Oktober 2025
Kepada Yth.
Redaksi Sekretariat Opini Republika
Email: sekretariat@republika.co.id
Perihal: Pengajuan Artikel Opini untuk Publikasi
Dengan hormat,
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama: Asep Rohmandar
Profesi: Arsitek sistem federatif dan peneliti reflektif dalam bidang pendidikan dan tata kelola berbasis artefak
Institusi/Komunitas: Masyarakat Peneliti Mandiri Sunda Nusantara (MPMSN) dan Persemakmuran Nusantara
Dengan ini mengajukan artikel opini untuk dipertimbangkan dalam rubrik opini Republika.co.id. Adapun judul artikel yang saya ajukan adalah:
Judul Artikel:
"Menggapai Bintang Nobel: Membangkitkan Spirit Muda Ilmuwan Muda "
Artikel ini ditulis sebagai bagian dari upaya reflektif dan konstruktif untuk mendorong transformasi pendidikan dan tata kelola di Indonesia melalui pendekatan federatif, spiritual, dan berbasis dokumentasi artefak.
Sebagai pemenuhan persyaratan redaksi, bersama surat ini saya lampirkan:
1. Naskah artikel opini (maksimal 6.000 karakter)
2. Identitas penulis (CV singkat dan foto diri)
3. Pernyataan orisinalitas dan belum pernah diterbitkan di media lain
Saya berharap artikel ini dapat memberikan kontribusi positif bagi wacana publik dan menjadi bagian dari dialog konstruktif yang memberikan nilai fasilitasi ilmu pengetahuan.
Demikian surat pengantar ini saya sampaikan. Atas perhatian dan kesempatan yang diberikan, saya ucapkan terima kasih.
Hormat saya,
Asep Rohmandar
HP/WA: 083821543522
Email: rasep7029@gmail.com
E Wallet Dana/Gopay : 083821543522
Judul Artikel : "Menggapai Bintang Nobel: Membangkitkan Spirit Ilmuwan Muda "
Oleh: Asep Rohmandar
1. Ketua Masyarakat Penelitian Mandiri Sunda Nusantara (MPMSN) dan Persemakmuran Nusantara
2. Pengamat perkembangan sains dan pendidikan tinggi di Indonesia, dengan fokus khusus pada pengembangan ekosistem STEM
Pernyataan dari para pemenang Hadiah Nobel 2025 yang diumumkan di Swedia, khususnya dalam bidang Fisiologi atau Kedokteran dan Fisika. Yakni, Shimon Sakaguchi – Pemenang Nobel Kedokteran 2025 (Jepang). “Saya merasa ini adalah suatu kehormatan yang luar biasa.” Disampaikan saat dihubungi oleh Komite Nobel di laboratoriumnya di Universitas Osaka, Jepang.
Penemuan Sakaguchi bersama Mary E. Brunkow dan Fred Ramsdell tentang sel T regulator membuka jalan bagi pengobatan kanker dan penyakit autoimun. Mereka dianugerahi Nobel atas kontribusi terhadap pemahaman toleransi imun perifer. Sedangkan John Clarke, Michel H. Devoret, dan John M. Martinis – Pemenang Nobel Fisika 2025 (Amerika Serikat) “Kami menunjukkan bahwa sifat-sifat mekanika kuantum dapat diwujudkan dalam skala makroskopis.” Disampaikan dalam pengumuman resmi oleh Akademi Ilmu Pengetahuan Kerajaan Swedia (YouTube, 7 Oktober, 2025). Mereka berhasil mendemonstrasikan terowongan mekanika kuantum dalam sistem listrik berskala besar, menjawab pertanyaan mendasar tentang batas efek kuantum dalam sistem fisik.
Ketika pengumuman Nobel Prize bergema setiap Oktober, dunia berhenti sejenak untuk memberikan penghormatan kepada para pemikir terbaik umat manusia. Namun, bagi kita di Nusantara, khususnya putra-putri Sunda yang mewarisi tradisi intelektual mendalam, pertanyaannya bukan hanya tentang siapa yang menang, melainkan kapan giliran kita berdiri di podium Stockholm. Tahun 2025 menjadi momentum krusial untuk merefleksikan posisi ilmuwan muda Sunda Nusantara dalam peta pencapaian sains global, sekaligus merumuskan jalan menuju pengakuan tertinggi dalam dunia akademis.
Paradoks Potensi: Kaya Tradisi, Miskin Pengakuan
Tanah Sunda dan Nusantara secara luas memiliki warisan intelektual yang tak ternilai. Dari observatorium astronomi tertua di Asia Tenggara hingga tradisi pengobatan herbal yang kini menjadi subjek riset farmakologi modern, kontribusi nenek moyang kita dalam sains bersifat fundamental namun kerap diabaikan. Seperti kata pepatah Sunda, "Silih asah, silih asih, silih asuh"—prinsip kolaborasi dan pengembangan bersama yang sejatinya merupakan esensi dari metode ilmiah itu sendiri.
Namun realitas hari ini berbicara lain. Dalam 124 tahun penghargaan Nobel, tidak satu pun ilmuwan dari Indonesia yang meraih kehormatan ini. Bukan karena ketiadaan bakat atau kecerdasan, melainkan karena kesenjangan sistemik dalam ekosistem riset, pendanaan, dan akses terhadap jaringan ilmiah global. Kondisi ini memerlukan introspeksi mendalam sekaligus aksi konkret untuk mengubah narasi.
Agenda Nobel 2025: Jendela Peluang yang Terbuka Lebar
Lembaga Nobel pada tahun 2025 menjalankan agenda yang semakin inklusif dan relevan dengan tantangan global. Sebagaimana disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Royal Swedish Academy of Sciences dalam pernyataannya, "The future of science lies not in the exclusivity of privileged nations, but in the democratization of knowledge and recognition of excellence wherever it emerges." Pernyataan ini bukan sekadar retorika diplomatik, melainkan komitmen nyata yang tercermin dalam berbagai program penjangkauan Nobel.
Program Nobel Prize Outreach yang diperluas pada 2025 memberikan akses pembelajaran digital kepada jutaan pelajar di negara berkembang, termasuk Indonesia. Nobel Week Dialogue yang mengangkat tema keberlanjutan dan inovasi teknologi membuka ruang bagi perspektif dari berbagai belahan dunia. Inisiatif Lindau Nobel Laureate Meetings yang kini mengalokasikan lebih banyak slot untuk peneliti muda dari Asia Tenggara menunjukkan bahwa pintu menuju pengakuan global sedang dibuka lebih lebar.
Bagi ilmuwan muda Sunda Nusantara, ini adalah momentum emas. Seperti kata bijak Sunda, "Kudu bisa nyokot mangsa, ulah ninggalkeun waktu"—kita harus mampu memanfaatkan kesempatan, jangan sampai terlewatkan.
Inspirasi dari Perjalanan Para Nobel Laureate: Bukan Soal Keajaiban, Tapi Ketekunan
Kisah Marie Curie menjadi cermin yang sempurna bagi perjuangan ilmuwan dari kelompok minoritas atau terpinggirkan. Sebagai perempuan di era ketika dunia akademis dikuasai laki-laki, Curie menghadapi penolakan demi penolakan. Laboratoriumnya berupa gudang bocor tanpa ventilasi memadai. Namun, seperti yang ia tulis dalam memoarnya, "Life is not easy for any of us. But what of that? We must have perseverance and above all confidence in ourselves." Ketekunan dan keyakinan diri itulah yang membawanya menjadi satu-satunya orang yang meraih Nobel Prize di dua bidang berbeda.
Untuk konteks Nusantara, spirit Curie ini sangat relevan. Keterbatasan fasilitas riset, minimnya pendanaan, dan kurangnya pengakuan tidak boleh menjadi alasan untuk menyerah. Justru kondisi inilah yang harus memicu kreativitas dan inovasi. Profesor Yohanes Surya, fisikawan Indonesia yang membawa tim Indonesia meraih medali emas Olimpiade Fisika Internasional, pernah menyatakan, "Kita tidak kalah pintar dengan bangsa lain. Yang kita butuhkan adalah kesempatan, bimbingan yang tepat, dan keyakinan bahwa kita mampu."
Contoh lain datang dari Abdus Salam, fisikawan Pakistan yang meraih Nobel Fisika 1979—satu-satunya ilmuwan Muslim yang meraih Nobel di bidang sains. Salam berasal dari negara berkembang dengan infrastruktur riset yang terbatas, namun ia berhasil karena kombinasi dari kecerdasan luar biasa, akses ke pendidikan berkualitas melalui beasiswa, dan jaringan kolaborasi internasional. Dalam pidato Nobelnya, Salam menyatakan, "Scientific thought and its creation is the common and shared heritage of mankind." Pesan ini mengingatkan bahwa sains tidak mengenal batas geografis atau ekonomi—keunggulan intelektual dapat muncul dari mana saja.
Motivasi dari Realitas: Mengubah Tantangan Menjadi Peluang
Komite Nobel memiliki kriteria ketat dalam menilai nominasi. Sebagaimana dijelaskan dalam protokol seleksi, "The Nobel Prize is awarded for discoveries or inventions that have conferred the greatest benefit to humankind." Kata kunci di sini adalah "greatest benefit to humankind"—bukan hanya untuk komunitas akademis sempit, tetapi untuk kemanusiaan secara luas.
Ilmuwan muda Sunda Nusantara sebenarnya memiliki keunggulan unik dalam konteks ini. Kita hidup di wilayah dengan biodiversitas tertinggi di dunia, menghadapi langsung dampak perubahan iklim, dan menyaksikan transformasi sosial-ekonomi yang masif. Tantangan-tantangan ini, jika direspons dengan riset berkualitas tinggi, dapat menghasilkan penemuan yang truly transformative bagi kemanusiaan.
Bayangkan jika ilmuwan kita berhasil mengembangkan vaksin atau terapi berbasis senyawa dari tanaman endemik Jawa Barat. Bayangkan jika peneliti kita menemukan solusi inovatif untuk mitigasi bencana gempa dan tsunami yang menyelamatkan jutaan nyawa. Bayangkan jika insinyur kita menciptakan teknologi energi terbarukan yang murah dan mudah diaplikasikan di negara berkembang. Ini semua bukan fantasi—ini adalah peluang riil yang menunggu untuk direalisasikan.
Richard Feynman, pemenang Nobel Fisika 1965, pernah berkata, "The first principle is that you must not fool yourself—and you are the easiest person to fool." Kejujuran intelektual dan integritas dalam penelitian adalah fondasi yang tidak dapat ditawar. Bagi ilmuwan muda kita, pesan ini harus menjadi pegangan: jangan mencari jalan pintas, jangan tergiur dengan publikasi instan yang tidak substansial, dan jangan pernah mengorbankan integritas demi pengakuan cepat.
Spirit Kolaborasi: Dari Lokal ke Global
Salah satu tren yang mencolok dalam Nobel Prize dekade terakhir adalah dominasi riset kolaboratif. Penemuan teknologi CRISPR-Cas9 yang meraih Nobel Kimia 2020 adalah hasil kolaborasi Emmanuelle Charpentier dan Jennifer Doudna dari dua benua berbeda. Pemetaan genom manusia yang memicu berbagai Nobel melibatkan ratusan ilmuwan dari puluhan negara.
Bagi ilmuwan Sunda Nusantara, ini menggarisbawahi pentingnya membangun jaringan. Kita tidak bisa bekerja dalam isolasi. Kolaborasi dengan universitas terkemuka dunia, partisipasi dalam proyek riset internasional, dan keterlibatan dalam komunitas ilmiah global adalah keharusan, bukan pilihan. Seperti falsafah Sunda "Someah hade ka semah"—ramah dan terbuka kepada tamu—kita harus aktif membangun jembatan dengan komunitas ilmiah internasional.
Institut Teknologi Bandung, Universitas Padjadjaran, Universitas Indonesia, dan institusi riset lainnya di Nusantara perlu mengintensifkan program pertukaran peneliti, menggandeng mitra riset internasional, dan memfasilitasi ilmuwan muda untuk menghadiri konferensi internasional. Program Lindau Nobel Laureate Meetings yang mengalokasikan slot untuk peneliti Indonesia harus dimanfaatkan maksimal—ini adalah kesempatan emas untuk belajar langsung dari para Nobel Laureate dan membangun jaringan yang akan menentukan karir riset jangka panjang.
Warisan Intelektual Sunda: Modal Budaya yang Belum Tergali
Tradisi intelektual Sunda memiliki akar yang dalam. Dalam naskah kuno seperti Sanghyang Siksakandang Karesian, kita menemukan ajaran tentang observasi alam dan pemahaman sistematis tentang fenomena. Sistem kalender Sunda yang kompleks menunjukkan pemahaman astronomi yang canggih. Praktek pertanian tradisional dengan sistem tumpang sari mencerminkan pemahaman ekologi yang mendahului konsep modern tentang sustainable agriculture.
Modal budaya ini harus menjadi sumber inspirasi, bukan sekadar nostalgia. Albert Einstein, dalam refleksinya tentang kreativitas ilmiah, menyatakan, "Imagination is more important than knowledge. For knowledge is limited, whereas imagination embraces the entire world, stimulating progress, giving birth to evolution." Kemampuan untuk membayangkan kemungkinan baru, yang berakar dalam tradisi kultural kita, adalah aset yang perlu diaktivasi dalam riset kontemporer.
Konsep "Tri Tangtu" dalam filosofi Sunda—tiga prinsip yang saling terkait dan menyeimbangkan—dapat menjadi framework untuk pendekatan riset holistik yang mengintegrasikan aspek ilmiah, etis, dan sosial. Dalam era di mana sains semakin dituntut untuk mempertanggungjawabkan dampak sosialnya, pendekatan yang berakar dalam wisdom lokal seperti ini justru dapat menjadi diferensiator yang memberikan nilai tambah pada riset kita.
Tantangan Struktural: Dari Diagnosis Menuju Solusi
Kejujuran mengharuskan kita mengakui bahwa tantangan yang dihadapi ilmuwan muda Sunda Nusantara bersifat struktural dan sistemik. Pendanaan riset di Indonesia masih jauh di bawah standar negara maju—kurang dari nol koma dua persen dari GDP, sementara negara maju mengalokasikan dua hingga empat persen. Fasilitas laboratorium di banyak universitas masih terbatas. Sistem birokrasi riset yang rumit sering menghambat kreativitas dan inovasi.
Namun, seperti diamati oleh Jennifer Doudna dalam wawancaranya pasca-Nobel, "The biggest breakthroughs often come from the most constrained circumstances, because constraints force you to think differently." Keterbatasan dapat menjadi katalis untuk inovasi jika direspons dengan cara yang tepat.
Beberapa langkah konkret yang dapat diambil meliputi pemanfaatan teknologi digital untuk akses ke literatur ilmiah melalui platform open access, penggunaan peralatan riset berbasis teknologi terjangkau yang kini semakin banyak tersedia, dan fokus pada riset yang memanfaatkan keungkomparatif lokal seperti biodiversitas dan fenomena geologis unik. Kolaborasi dengan diaspora ilmuwan Indonesia di luar negeri juga dapat membuka akses ke fasilitas dan jaringan riset internasional tanpa harus meninggalkan tanah air secara permanen.
Nobel Prize 2025: Pelajaran dari Pemenang untuk Calon Pemenang
Pengumuman Nobel Prize 2025 pada Oktober nanti akan kembali menampilkan nama-nama cemerlang yang memberikan kontribusi luar biasa bagi umat manusia. Setiap pemenang akan membawa cerita unik tentang perjalanan mereka—tentang kegagalan yang dihadapi, keraguan yang harus diatasi, dan ketekunan yang membawa mereka ke puncak.
Bagi ilmuwan muda Sunda Nusantara yang menonton pengumuman itu, pertanyaannya bukan "Mengapa bukan kita?" melainkan "Apa yang harus kita lakukan agar suatu hari nanti kita bisa berdiri di sana?" Jawaban atas pertanyaan ini memerlukan komitmen jangka panjang dari berbagai pihak—pemerintah yang memprioritaskan riset dan pendidikan, universitas yang menciptakan ekosistem riset yang kondusif, industri yang berinvestasi dalam research and development, dan tentunya ilmuwan muda itu sendiri yang memiliki passion, integritas, dan ketekunan.
Malala Yousafzai, pemenang Nobel Perdamaian termuda, dalam pidato penerimaannya menyatakan, "One child, one teacher, one book, one pen can change the world." Jika seorang anak perempuan dari lembah Swat di Pakistan dapat mengubah diskursus global tentang pendidikan, mengapa tidak seorang peneliti muda dari Bandung atau Yogyakarta yang mengubah paradigma dalam bidang sains?
Ekosistem Riset: Membangun Hutan, Bukan Sekadar Menanam Pohon
Menghasilkan ilmuwan berkaliber Nobel memerlukan ekosistem, bukan sekadar individu genius. Ekosistem ini meliputi pendidikan dasar dan menengah yang kuat dalam matematika dan sains, universitas riset yang mampu bersaing di tingkat global, pendanaan riset yang memadai dan berkelanjutan, sistem peer review yang ketat namun konstruktif, dan kultur akademis yang menghargai keunggulan dan integritas.
Di Jawa Barat dan Nusantara secara luas, fondasi untuk ekosistem ini sebenarnya sudah ada. ITB, UI, UGM, dan universitas riset lainnya memiliki fakultas berkualitas dan menghasilkan publikasi di jurnal internasional. Lembaga seperti BRIN mulai mengkonsolidasikan riset nasional dengan lebih terstruktur. Yang diperlukan adalah akselerasi, intensifikasi, dan konsistensi dalam pengembangan ekosistem ini.
Seperti pepatah Sunda mengatakan, "Heulang-heuleung ngadahar munding, asal nyeri jeung rajeun"—meskipun pelan asal tekun dan konsisten, hasilnya akan tercapai. Membangun ekosistem riset kelas dunia memang memerlukan waktu puluhan tahun, namun jika kita mulai hari ini dengan serius dan konsisten, generasi mendatang akan menuai hasilnya.
Pesan untuk Ilmuwan Muda: Berani Bermimpi, Berani Bekerja Keras
Kepada ilmuwan muda Sunda Nusantara yang membaca tulisan ini, saya ingin menyampaikan beberapa pesan yang berakar dari spirit Nobel Prize namun disesuaikan dengan konteks kita.
Pertama, bermimpilah besar namun bekerjalah dengan tekun pada hal-hal kecil. Nobel Prize mungkin tampak jauh dan tidak terjangkau, namun setiap pemenang Nobel memulai dari langkah sederhana—eksperimen kecil, pertanyaan sederhana, observasi teliti atas fenomena biasa. Werner Heisenberg, pemenang Nobel Fisika 1932, mengingatkan kita, "What we observe is not nature itself, but nature exposed to our method of questioning." Mulailah dengan mengajukan pertanyaan yang tepat.
Kedua, jangan takut gagal. Thomas Edison melakukan ribuan percobaan sebelum menemukan bola lampu yang praktis. Kegagalan adalah bagian integral dari proses ilmiah. Seperti kata pepatah Sunda, "Salah jalan bisa balik, salah laku tangtu cilaka"—kesalahan dalam metode bisa diperbaiki, yang berbahaya adalah kesalahan dalam sikap dan integritas.
Ketiga, bangunlah jaringan dan kolaborasi. Dalam dunia riset modern, tidak ada peneliti yang bekerja sendirian. Manfaatkan setiap kesempatan untuk berkolaborasi dengan peneliti lain, baik di dalam maupun luar negeri. Hadiri konferensi, publikasikan hasil riset, dan libatkan diri dalam komunitas ilmiah. Seperti kata peribahasa, "Silih pikanyaah"—saling menguatkan satu sama lain.
Keempat, pertahankan integritas ilmiah dalam segala situasi. Tekanan untuk publikasi, kompetisi dalam mendapatkan pendanaan, dan godaan untuk mengambil jalan pintas sangat nyata. Namun, seperti yang diingatkan oleh Sydney Brenner, pemenang Nobel Fisiologi atau Kedokteran 2002, "Science is not a career. It's a vocation. It's something you do because you cannot imagine doing anything else." Jika motivasi kita adalah keingintahuan genuine dan keinginan untuk berkontribusi pada pengetahuan manusia, integritas akan mengikuti secara natural.
Kelima, jangan lupakan akar budaya dan tanggung jawab sosial. Riset yang dilakukan harus memberikan manfaat bagi masyarakat, khususnya masyarakat lokal. Teknologi dan penemuan yang dikembangkan harus accessible dan applicable dalam konteks Indonesia dan negara berkembang lainnya. Ini sejalan dengan spirit Nobel Prize yang menekankan "benefit to humankind."
Visi 2045: Nobel Prize untuk Indonesia Centennial
Tahun 2045, Indonesia akan merayakan seratus tahun kemerdekaan. Target untuk menjadi negara maju secara ekonomi sudah sering dibicarakan. Namun, kemajuan sejati juga harus diukur dari kontribusi intelektual terhadap peradaban global. Tidakkah indah jika pada perayaan kemerdekaan seratus tahun tersebut, Indonesia memiliki setidaknya satu pemenang Nobel Prize?
Visi ini bukan utopia. Dengan populasi lebih dari dua ratus tujuh puluh juta jiwa dan tingkat pendidikan yang terus meningkat, pool talenta yang tersedia sangat besar. Yang diperlukan adalah sistem yang mampu mengidentifikasi, mengembangkan, dan mendukung talenta-talenta terbaik tersebut untuk berkompetisi di tingkat global.
Agenda Nobel 2025 dengan berbagai program outreach dan inklusivitasnya memberikan blueprint yang jelas. Komitmen dari berbagai stakeholder—pemerintah, akademisi, industri, dan civil society—untuk mengimplementasikan blueprint tersebut dalam konteks Indonesia adalah kunci keberhasilan.
Penutup: Dari Spektator Menjadi Aktor
Selama ini, bangsa Indonesia umumnya dan masyarakat Sunda khususnya adalah spektator dalam perayaan tahunan Nobel Prize. Kita menonton dengan kagum, membaca berita tentang penemuan luar biasa, namun tidak pernah benar-benar percaya bahwa suatu hari nama kita bisa ada di sana.
Sudah saatnya mindset ini berubah. Kita harus beralih dari spektator menjadi aktor—dari penonton menjadi peserta aktif dalam kemajuan sains global. Seperti yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer, "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah." Dalam konteks sains, kita boleh melakukan riset setinggi langit, namun jika tidak dipublikasikan dan diakui secara internasional, kontribusi kita akan hilang dari sejarah sains dunia.
Inspirasi dari para pemenang Nobel, motivasi dari agenda inklusif lembaga Nobel tahun 2025, dan spirit yang berakar dalam tradisi intelektual Sunda Nusantara—ketiga elemen ini harus bergabung menjadi kekuatan pendorong bagi generasi ilmuwan muda kita. Jalan menuju Stockholm mungkin panjang dan berliku, namun seperti kata bijak leluhur kita, "Lalajo taya pajah, ngalakonan teu kajajah"—dalam melihat tidak ada kesulitan, namun dalam menjalani tidak akan terjamah halangan jika kita benar-benar berkomitmen.
Mari kita mulai perjalanan ini hari ini. Mari kita bangun ekosistem riset yang kondusif. Mari kita dukung ilmuwan muda terbaik kita untuk berkompetisi di pentas global. Dan mari kita percaya bahwa suatu hari, nama dari Sunda dan Nusantara akan bergema di Stockholm Concert Hall, membawa kebanggaan bagi bangsa dan inspirasi bagi generasi mendatang.
Seperti yang dikatakan oleh Abdus Salam dalam pidato Nobelnya, mengutip Al-Quran, "Thou seest the mountains and thinkest them firmly fixed: but they shall pass away as the clouds pass away." Tidak ada yang tidak mungkin jika kita memiliki ilmu, kerja keras, dan keyakinan yang kuat.
Masa depan sains Indonesia dimulai dari keberanian kita hari ini untuk bermimpi dan bekerja keras mewujudkannya. Semoga tulisan ini menjadi salah satu batu loncatan kecil menuju cita-cita besar tersebut.
Asep Rohmandar adalah pengamat perkembangan sains dan pendidikan tinggi di Indonesia, dengan fokus khusus pada pengembangan ekosistem riset STEM
Lampiran :
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama: Asep Rohmandar
Profesi: Arsitek sistem federatif dan peneliti reflektif
Institusi/Komunitas: MPMSN dan Persemakmuran Nusantara
Email: rasep7029@gmail.com
Nomor HP/WA: 083821543522
Dengan ini menyatakan bahwa tulisan saya yang berjudul:
"Menggapai Bintang Nobel: Membangkitkan Spirit Ilmuwan Muda "
adalah karya asli saya sendiri, bukan hasil plagiarisme, dan belum pernah dipublikasikan di media massa cetak maupun digital lainnya, baik sebagian maupun seluruhnya.
Saya juga menyatakan bahwa tulisan tersebut tidak sedang dalam proses pengajuan di media lain, dan saya memberikan izin kepada tim redaksi untuk meninjau dan menerbitkannya apabila dinilai layak.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya, sebagai bentuk komitmen terhadap etika penulisan dan integritas akademik.
Bandung, 8 Oktober 2025
Hormat saya,
TTD
(Asep Rohmandar)
CV Singkat Penulis Artikel
Kota Domisili: Dayeuhkolot, Jawa Barat, Indonesia
Organisasi:
1. Masyarakat Peneliti Mandiri Sunda Nusantara (MPMSN)
2. Sunda Global Institute
3. Sundaland Researchers Society (afiliasi internasional)
Bidang Keahlian:
1. Kepemimpinan adaptif dan inklusif berbasis data
2. Dokumentasi autoetnografis dan sistem artefak
3. Pendidikan dan tata kelola berbasis nilai lokal
4. Integrasi kearifan Sunda dengan standar global (UNESCO, SDG4, DEI)
Publikasi Terkini:
1. Artikel “Good Education Governance: Teori dan Praktik dalam Peningkatan Mutu Pendidikan Nasional” – Jurnal Ilmiah Multidisipliner, 2025
2. Artikel “Adaptive, Mindful, and Data-Driven Leadership in Implementing Inclusive Technology” – ICETMR International Conference, Bali, 2025
3. Sertifikasi HAM, koperasi, dan politik anggaran sebagai artefak pendidikan etis
Kontribusi:
1. Mendorong sistem pendidikan dan riset berbasis spiritualitas dan etika publik
2. Mengembangkan sistem dokumentasi modular melalui IPOI dan PancaGLOKAL
3. Aktif dalam diplomasi akademik dan mentoring peneliti muda
Kontak:
Email: rasep7029@gmail.com
WhatsApp: 083821543522
Website/Portofolio:
http://playimpactingyou.blogspot.com/2025/10/analisa-buku-ke-buku.html
Komentar
Posting Komentar